Di Ujung Asa
T
|
iba-tiba ruangan ini terasa panas. Suhu
tubuhku mendadak naik. Keringat pelan-pelan mulai keluar dari pori-pori
kulitku. Ruangan ber AC ini tak sanggup mendinginkan tubuhku. Di hadapanku dr.
Hilda masih terlihat serius membaca hasil laboratorium yang baru saja
kuserahkan. Kulihat dahi dr. Hilda sedikit berkerut. Sesekali ia menghela napas
panjang. Cukup lama aku menanti jawaban yang akan diberikannya.
“Fira, kamu menderita gejala kanker serviks atau kanker mulut rahim…..” Pelan tapi
pasti dr Hilda mengucapkan kata-kata itu. Tapi bagiku, suara dr Hilda bagai
ketok palu hakim yang memvonis seorang terdakwa. Aku terguncang , tangisku
pecah seketika. Dr. Hilda berdiri dari kursinya dan menghampiriku. Pertumbuhan
sel-sel abnormal dalam leher rahim itu harus dicegah sebelum menyebar.
Pengobatan yang tepat akan segera dapat menghentikan sel-sel yang abnormal,
sebelum berubah menjadi sel-sel kanker.
“Kamu harus menjalani pengobatan awal untuk
mengetahui sampai seberapa jauh sel-sel abnormal itu menyebar dan
kemungkinannya berubah menjadi sel-sel kanker. Akan kita ambil sample sedikit
dari sel-sel leher rahim, termasuk sel-sel yang mengalami perubahan. Setelah
kondisi itu diketahui maka akan kita ambil tindakan selanjutnya. Apakah kamu
harus menjalani operasi pengambilan sel-sel leher rahim di daerah yang
terserang kanker. Semakin dini diketahui maka penyembuhan akan dapat dilakukan
secepatnya ”
Terdengar
langkah–langkah yang diseret menjauh. Aku memang tidak ingin ketemu dengan
siapapun. Sejak mendengar vonis dokter itu aku sering menyendiri aku tidak tahu
harus melakukan apa. Dunia serasa runtuh bagiku. Aku hanya bisa menangis. Apa
yang harus aku katakan pada orang tuaku di Medan? Berbagai macam tanya
bergelayut dalam pikiranku. Mungkin dr Hilda benar, orang tuaku harus tahu.
Meskipun aku tidak tahu apa reaksi mereka. Tapi pasti mereka bisa memberi
solusi yang baik. Akhirnya kuputuskan untuk pulang ke Medan tanpa memberitahu
siapapun termasuk Hanan. Pikiranku memang benar-benar kalut. Tapi aku juga
harus bertindak cepat.
D
|
engan pesawat paling pagi aku terbang
ke Medan. Membawa sebuah ketidakpastian dalam hidup. Aku sudah pasrah. Yang ada
dalam pikiranku saat ini adalah aku ingin menghabiskan waktu bersama
keluargaku. Aku hanya pamit pada Farah, kepadanya aku bilang kangen pada
keluarga. Memang hampir setahun ini aku tidak pulang. Waktuku banyak kuhabiskan
dengan Hanan. Lelaki asal Semarang itu telah mengisi hari-hariku selama tiga
tahun terakhir ini. Meskipun usia Hanan dua tahun di bawahku tapi kedewasaannya
patut kuacungi jempol. Dia banyak membantuku dalam berbagai hal. Sayangnya
keluargaku tidak merestui hubungan kami berdua. Alasannya cukup klise. Hanya
karena kami berbeda suku. Aku Batak bermarga Hasibuan sedangkan Hanan Jawa.
Padahal bagi kami berdua perbedaan itu tidak berarti. Yang penting, kami
seiman itu sudah cukup landasan bagi kami. Tapi apa daya sewaktu Hanan ingin
bersilaturrahmi dengan keluargaku, mereka tidak menyambut seperti yang yang
kami harapkan. Rasa tidak suka yang justru mereka perlihatkan. Tapi disinilah
Hanan menunjukkan kedewasaannya. Dia tidak marah bahkan berusaha sabar
diperlakukan seperti itu. Terus terang aku jadi tambah sayang padanya.
Perhatiannya padaku pun tidak berubah setelah kejadian itu.
Tapi untuk berterus terang tentang
penyakitku ini aku tidak sanggup. Aku takut mengecewakannya. Aku takut
kehilangan dia. Akhirnya kuputuskan untuk pergi diam-diam. Apakah aku akan
meninggalkannya?, aku tak tahu. Saat ini aku tidak bisa berpikir.
………………………………….
“Kenapa kamu mengalami cobaan yang begitu
berat nak?” kata Mamak setelah a katakan yang sebenarnya.
Detik-detik yang
menegangkan itu akhirnya terjadi. Aku menjalani operasi pengangkatan sel-sel abnormal
itu yang memang sudah mulai menyebar. Aku sudah pasrah menjalani ini semua
karena dokter pun tidak bisa menjamin apakah aku akan sembuh total. Dokter hanya
mengisyaratkan agar aku berdoa mohon kesembuhan. Karena kemungkinan aku akan
cacat sebagai perempuan. Aku sempat menangis mendengar vonis dokter itu. Tapi
aku juga harus memikirkan jiwaku yang terancam jika aku tidak melakukan operasi
ini.
………………………………..
Pelan-pelan aku membuka mataku. Sinar
matahari pagi yang masuk melalui jendela cukup membuatku silau. Aku merasakan
sakit di sekujur badanku. Rasa lemas dan haus membaur jadi satu. Aku haus
sekali tapi untuk mengambil minum di meja samping ranjangku aku tidak sanggup. Aku
merasakan menjadi orang yang tidak berdaya.
Hari-hari di rumah sakit kulalui bersama
Bang Jeffri, lelaki yang akan dijodohkan denganku. Tak bisa kupungkiri Bang
Jeffri sangat sayang dan sabar. Untuk beberapa hari pasca operasi aku hanya
tergolek lemah. Aku merasakan menjadi orang yang tidak berdaya. Bang Jeffri lah
yang selalu menghiburku dan memberi semangat bahwa hidup masih panjang yang
harus dijalani.
Tiba-tiba terdengar suara ketok pintu. Bang
Jefri bergegas membukakan pintu. Lama Bang Jeffri di luar menemui sesorang.
“Fir….ada yang mencarimu” katanya
Saat kutemui ternyata Hanan. Sempat a
menolaknya dan meminta supaya Dia mencari wanita lain yang lebih baik dariku.
Hanan keluar ruangan dengan wajah lesu.
“ Fira, aku tahu isi hatimu. Sebenarnya
kamu mencintai Hanan bahkan dengan sepenuh hatimu. Jangan kamu bohongi dirimu.”
Bang Jeffri berkata pelan dan hati-hati. Sifat dewasanya yang kukagumi tampil.
“ Jangan melakukan kesalahan kalau itu bisa kamu hindari karena ini menyangkut
kebahagiaan hidupmu. Hiduplah dengan orang yang kamu cintai dan orang yang
mencintaimu. Kamu pasti akan merasakan kebahagiaan abadi. Cinta kalian memang
tidak terpisahkan. Aku bisa melihatnya dari sorot matanya bahkan sorot matamu. Sekali
lagi jangan kamu bohongi dirimu. Kamu akan menyesal seumur hidupmu.”
“Aku akan panggil Hanan kemari.” Diapun
berjalan keluar. Aku menunggu dengan rasa yang tidak bisa kukatakan. Hatiku
bahagia. Akhirnya semua permasalahan bisa selesai. Ya, Tuhan beri aku hidup
sekali lagi agar aku bisa bersamanya, doaku.
Tanpa kusadari Hanan sudah berdiri di sampingku.
Di sudut pintu Bang Jeffri menyaksikan itu
semua dengan tersenyum. Ada ketulusan dan juga kekecewaan dalam senyumnya. Tapi
ia bahagia karena berhasil menyatukan dua hati yang memang seharusnya bersatu
tanpa harus dipisahkan lagi oleh ego orang tua masing-masing. Kini permasalahanku
sudah terlewati dan aku bisa hidup bersama dengan Hanan.
…………………………………
Jangan meminta
Tuhan untuk mewujudkan mimpimu. Berdoalah pada Tuhan untuk memberimu kekuatan
agar bisa membuat mimpimu jadi kenyataan (DuniaPustaka.com)
===== Kaya Makna, Kaya Gambar, Kaya Berita =====
Cerpen Kiriman dari Pembaca media1visi