Rabu, 24 Oktober 2012

CERPEN KIRIMAN PEMBACA




Di Ujung Asa

T
iba-tiba ruangan ini terasa panas. Suhu tubuhku mendadak naik. Keringat pelan-pelan mulai keluar dari pori-pori kulitku. Ruangan ber AC ini tak sanggup mendinginkan tubuhku. Di hadapanku dr. Hilda masih terlihat serius membaca hasil laboratorium yang baru saja kuserahkan. Kulihat dahi dr. Hilda sedikit berkerut. Sesekali ia menghela napas panjang. Cukup lama aku menanti jawaban yang akan diberikannya.

            “Fira, kamu menderita gejala kanker serviks atau kanker mulut rahim…..” Pelan tapi pasti dr Hilda mengucapkan kata-kata itu. Tapi bagiku, suara dr Hilda bagai ketok palu hakim yang memvonis seorang terdakwa. Aku terguncang , tangisku pecah seketika. Dr. Hilda berdiri dari kursinya dan menghampiriku. Pertumbuhan sel-sel abnormal dalam leher rahim itu harus dicegah sebelum menyebar. Pengobatan yang tepat akan segera dapat menghentikan sel-sel yang abnormal, sebelum berubah menjadi sel-sel kanker. 

 “Kamu harus menjalani pengobatan awal untuk mengetahui sampai seberapa jauh sel-sel abnormal itu menyebar dan kemungkinannya berubah menjadi sel-sel kanker. Akan kita ambil sample sedikit dari sel-sel leher rahim, termasuk sel-sel yang mengalami perubahan. Setelah kondisi itu diketahui maka akan kita ambil tindakan selanjutnya. Apakah kamu harus menjalani operasi pengambilan sel-sel leher rahim di daerah yang terserang kanker. Semakin dini diketahui maka penyembuhan akan dapat dilakukan secepatnya  ”

Terdengar langkah–langkah yang diseret menjauh. Aku memang tidak ingin ketemu dengan siapapun. Sejak mendengar vonis dokter itu aku sering menyendiri aku tidak tahu harus melakukan apa. Dunia serasa runtuh bagiku. Aku hanya bisa menangis. Apa yang harus aku katakan pada orang tuaku di Medan? Berbagai macam tanya bergelayut dalam pikiranku. Mungkin dr Hilda benar, orang tuaku harus tahu. Meskipun aku tidak tahu apa reaksi mereka. Tapi pasti mereka bisa memberi solusi yang baik. Akhirnya kuputuskan untuk pulang ke Medan tanpa memberitahu siapapun termasuk Hanan. Pikiranku memang benar-benar kalut. Tapi aku juga harus bertindak  cepat.

D
engan pesawat paling pagi aku terbang ke Medan. Membawa sebuah ketidakpastian dalam hidup. Aku sudah pasrah. Yang ada dalam pikiranku saat ini adalah aku ingin menghabiskan waktu bersama keluargaku. Aku hanya pamit pada Farah, kepadanya aku bilang kangen pada keluarga. Memang hampir setahun ini aku tidak pulang. Waktuku banyak kuhabiskan dengan Hanan. Lelaki asal Semarang itu telah mengisi hari-hariku selama tiga tahun terakhir ini. Meskipun usia Hanan dua tahun di bawahku tapi kedewasaannya patut kuacungi jempol. Dia banyak membantuku dalam berbagai hal. Sayangnya keluargaku tidak merestui hubungan kami berdua. Alasannya cukup klise. Hanya karena kami berbeda suku. Aku Batak bermarga Hasibuan sedangkan Hanan Jawa. Padahal bagi kami berdua perbedaan itu tidak berarti. Yang penting, kami seiman itu sudah cukup landasan bagi kami. Tapi apa daya sewaktu Hanan ingin bersilaturrahmi dengan keluargaku, mereka tidak menyambut seperti yang yang kami harapkan. Rasa tidak suka yang justru mereka perlihatkan. Tapi disinilah Hanan menunjukkan kedewasaannya. Dia tidak marah bahkan berusaha sabar diperlakukan seperti itu. Terus terang aku jadi tambah sayang padanya. Perhatiannya padaku pun tidak berubah setelah kejadian itu.
Tapi untuk berterus terang tentang penyakitku ini aku tidak sanggup. Aku takut mengecewakannya. Aku takut kehilangan dia. Akhirnya kuputuskan untuk pergi diam-diam. Apakah aku akan meninggalkannya?, aku tak tahu. Saat ini aku tidak bisa berpikir.
                          ………………………………….

 “Kenapa kamu mengalami cobaan yang begitu berat nak?” kata Mamak setelah a katakan yang sebenarnya.

Detik-detik yang menegangkan itu akhirnya terjadi. Aku menjalani operasi pengangkatan sel-sel abnormal itu yang memang sudah mulai menyebar. Aku sudah pasrah menjalani ini semua karena dokter pun tidak bisa menjamin apakah aku akan sembuh total. Dokter hanya mengisyaratkan agar aku berdoa mohon kesembuhan. Karena kemungkinan aku akan cacat sebagai perempuan. Aku sempat menangis mendengar vonis dokter itu. Tapi aku juga harus memikirkan jiwaku yang terancam jika aku tidak melakukan operasi ini.
                                    ………………………………..

Pelan-pelan aku membuka mataku. Sinar matahari pagi yang masuk melalui jendela cukup membuatku silau. Aku merasakan sakit di sekujur badanku. Rasa lemas dan haus membaur jadi satu. Aku haus sekali tapi untuk mengambil minum di meja samping ranjangku aku tidak sanggup. Aku merasakan menjadi orang yang tidak berdaya. 



Hari-hari di rumah sakit kulalui bersama Bang Jeffri, lelaki yang akan dijodohkan denganku. Tak bisa kupungkiri Bang Jeffri sangat sayang dan sabar. Untuk beberapa hari pasca operasi aku hanya tergolek lemah. Aku merasakan menjadi orang yang tidak berdaya. Bang Jeffri lah yang selalu menghiburku dan memberi semangat bahwa hidup masih panjang yang harus dijalani. 

Tiba-tiba terdengar suara ketok pintu. Bang Jefri bergegas membukakan pintu. Lama Bang Jeffri di luar menemui sesorang.
“Fir….ada yang mencarimu” katanya

Saat kutemui ternyata Hanan. Sempat a menolaknya dan meminta supaya Dia mencari wanita lain yang lebih baik dariku. Hanan keluar ruangan dengan wajah lesu.

“ Fira, aku tahu isi hatimu. Sebenarnya kamu mencintai Hanan bahkan dengan sepenuh hatimu. Jangan kamu bohongi dirimu.” Bang Jeffri berkata pelan dan hati-hati. Sifat dewasanya yang kukagumi tampil. “ Jangan melakukan kesalahan kalau itu bisa kamu hindari karena ini menyangkut kebahagiaan hidupmu. Hiduplah dengan orang yang kamu cintai dan orang yang mencintaimu. Kamu pasti akan merasakan kebahagiaan abadi. Cinta kalian memang tidak terpisahkan. Aku bisa melihatnya dari sorot matanya bahkan sorot matamu. Sekali lagi jangan kamu bohongi dirimu. Kamu akan menyesal seumur hidupmu.”

“Aku akan panggil Hanan kemari.” Diapun berjalan keluar. Aku menunggu dengan rasa yang tidak bisa kukatakan. Hatiku bahagia. Akhirnya semua permasalahan bisa selesai. Ya, Tuhan beri aku hidup sekali lagi agar aku bisa bersamanya, doaku. Tanpa kusadari Hanan sudah berdiri di sampingku.

Di sudut pintu Bang Jeffri menyaksikan itu semua dengan tersenyum. Ada ketulusan dan juga kekecewaan dalam senyumnya. Tapi ia bahagia karena berhasil menyatukan dua hati yang memang seharusnya bersatu tanpa harus dipisahkan lagi oleh ego orang tua masing-masing. Kini permasalahanku sudah terlewati dan aku bisa hidup bersama dengan Hanan.
                                         …………………………………
                                                               

 Jangan meminta Tuhan untuk mewujudkan mimpimu. Berdoalah pada Tuhan untuk memberimu kekuatan agar bisa membuat mimpimu jadi kenyataan  (DuniaPustaka.com)

===== Kaya Makna, Kaya Gambar, Kaya Berita =====

Cerpen Kiriman dari Pembaca media1visi
Anna Risnawati- Ngaliyan, Semarang

 Editor team redaktur media1visi